Sering kali terdengar dari untaian kata ulama tasawuf,
hendaknya seorang hamba menerima maqam (kedudukan) yang telah Allah SWT
tetapkan baginya. Ia tidak perlu keluar dari kedudukan itu hanya Karena ketertarikan
hati dan mengikuti hawa nafsu saja. hal itu karena pilihan Allah SWT bagi
hamba-Nya lebih baik dari pada pilihannya untuk dirinya sendiri. pengaturan Allah
SWT bagi hamba-Nya lebih sempurna dari pada pengaturan hamba itu sendiri. Karena
Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Namun terkadang
hal ini disalah artikan oleh sebagian orang-orang bodoh yang tertipu.
Mereka mengira bahwa Allah SWT menempatkan mereka sekalian dalam posisi ini merupakan suatu perkara mutlak tanpa ada ikatan dan sesuatu perkara yang umum tanpa pengkhususan. Sehingga tak jarang kami mendengar dari lisan mereka kata-kata yang kotor dan argumentasi yang tidak ada dasarnya serta tidak adanya bukti sama sekali.
Mereka mengira bahwa Allah SWT menempatkan mereka sekalian dalam posisi ini merupakan suatu perkara mutlak tanpa ada ikatan dan sesuatu perkara yang umum tanpa pengkhususan. Sehingga tak jarang kami mendengar dari lisan mereka kata-kata yang kotor dan argumentasi yang tidak ada dasarnya serta tidak adanya bukti sama sekali.
Contohnya,
pemimpin yang dzolim memberikan alasan bahwa ke dzoliman yang ia lakukan sudah
merupakan ketentuan takdir Allah SWT. Sedangkan orang-orang kaya dan para
materialistis yang mengambil harta dengan cara yang tidak halal, lalu
mengeluarkanya di jalan yang tidak benar, mereka beralasan bahwa posisi mereka
sudah menjadi ketentuan takdir Allah SWT. Hal ini merupakan kebohongan besar
dan kesesatan yang nyata.
Alasannya, bahwa tidaklah Allah SWT
memposisikan seorang hamba kecuali pada keadaan yang Dia ridhoi. Dan inilah
merupakan syarat pertama. Yang kedua, posisinya itu adalah untuk taat kepada
Allah SWT dan menempuh jalan kerihoan-Nya. Sedangkan yang ketiga, sudah
sepatutnya ia menginginkan kedudukan yang lebih tinggi selama jalan itu bisa
ditempuh.
Tidak ada yang menghalanginya kecuali
kelemahannya dan tidak adanya peluang ke sana yang dikarenakan
bermalas-malasan, menunda-nunda atau condong atas kesenangan hawa nafsu. Perhatikanlah
dan renungkanlah pembahasan ini Karena ini adalah merupakan suatu pembahasan
yang teramat penting. WAllahu a’lam..
Sumber : “Al Fushuulu ‘ilmiyah
Wa ushuulul hikamiyah” Karangan
Al-Habib Abdulloh bin Alwi Al-Haddad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar